Caption foto: U-Reporter mengikuti kegiatan untuk remaja pada tahun 2016, sebelum pandemi COVID-19.
Saat duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, RPY mendapat ajakan dari teman-teman satu sekolah di sebuah SD di Padang untuk mencoba merokok. Tumbuh besar, ia menyaksikan sang ayah merokok serta menonton iklan-iklan rokok yang ditayangkan di televisi. Tak pelak, rasa penasarannya timbul. Setelahnya, RPY mulai terbiasa merokok, terlebih karena rokok berharga murah dan mudah didapat di sekitarnya.
Pengalaman RPY mewakili cerita dari begitu banyak remaja di Indonesia. Meskipun hukum menetapkan 18 tahun sebagai usia minimal untuk mengakses rokok, lebih dari sepertiga remaja lelaki berusia 15-19 tahun sudah menjadi perokok. Lebih dari separuh memulai kebiasaan ini saat masih berusia di bawah 15 tahun. Kemudahan mengakses rokok dari toko dan warung, iklan televisi, dan titik penjualan lain turut mendorong keputusan anak untuk merokok dan membuat kebiasaan ini sulit dihentikan.
Angka konsumsi tembakau yang tinggi, baik di kalangan remaja maupun dewasa, memiliki dampak luar biasa terhadap kesehatan masyarakat. Antara tahun 1990 dan 2019, angka kematian di Indonesia yang dikaitkan dengan tembakau naik tajam sebesar 118 persen dan mencapai lebih dari 246.000 kematian terkait tembakau pada 2019.
“Pandemi COVID-19 menimbulkan dampak yang berat, tetapi angka kematian yang disebabkannya masih lebih rendah dibandingkan angka kematian tahunan yang disebabkan oleh merokok,” kata Valerie Julliand, United Nations Resident Coordinator di Indonesia. “Indonesia adalah salah satu pasar terbesar dunia untuk produk rokok, dan konsumsi tembakau menimbulkan beban kesehatan yang luar biasa besar terhadap Indonesia, khususnya anak muda.”
Makna baru keren untuk remaja
U-Reporter mengikuti kegiatan untuk remaja pada tahun 2016, sebelum pandemi COVID-19.
Di seluruh dunia, terdapat sekitar 780 juta orang yang menyatakan ingin berhenti merokok, tetapi hanya 30 persen di antara mereka yang punya akses kepada sarana-sarana mengatasi kecanduan fisik dan psikis terhadap tembakau. Menanggapi situasi ini, WHO meluncurkan kampanye global baru “Commit to Quit” (Komitmen Berhenti Merokok) untuk mendukung 100 juta orang berhenti mengonsumsi tembakau melalui berbagai prakarsa dan solusi digital.
Di Indonesia, kampanye ini diterjemahkan ke dalam konteks lokal oleh UNICEF, yang meluncurkan prakarsa #KerenGakSih di media sosial. Prakarsa ini hendak mengubah sikap sosial terhadap merokok dan menjadikan keputusan berhenti merokok sebagai aksi yang keren di kalangan remaja. Sebagai bagian dari #KerenGakSih, UNICEF menggelar jajak pendapat pada 8 April hingga 5 Mei tentang penyakit tidak menular. Jajak pendapat dilakukan menggunakan platform U-Report yang merupakan wadah interaksi dengan remaja. Lebih dari 3.700 remaja dari seluruh Indonesia memberikan pendapatnya melalui WhatsApp dan Facebook Messenger.
Sejalan dengan hasil-hasil jajak pendapat U-Report yang terdahulu, sebagian besar responden (67,6 persen) menyebutkan internet sebagai sumber informasi utama tentang penyakit tidak menular. Hampir seluruh responden (91,3 persen) menyatakan bahwa tembakau berdampak buruk terhadap kesehatan dan perlu dihindari—lebih tinggi dibandingkan minuman beralkohol (85,7 persen) dan polusi udara (76,2 persen).
Pada saat bersamaan, UNICEF juga meluncurkan fitur pengirim pesan otomatis, chatbot, yang akan menyampaikan fakta-fakta seputar merokok kepada pengguna U-Report. Fakta-fakta ini, misalnya, faktor yang memengaruhi perokok, dampak kesehatan, dan kiat berhenti merokok. Chatbot juga akan meminta pengguna bergabung dengan kampanye “Commit to Quit”.
“Informasi dari U-Report sangat berguna,” kata Daffa Ramadhan, U-Reporter berusia 17 tahun asal Karawang, Jawa Barat. “Saya jadi belajar tentang bahaya merokok dan apa saja yang memengaruhi seseorang untuk merokok. Dengan begitu, saya bisa memberikan informasi yang benar ke orang-orang sekitar.”
Di Sulawesi Tengah, Marshanda Pariu , U-Reporter berusia 17 tahun memperkirakan 80 persen remaja, orang dewasa, dan lansia di lingkungannya adalah perokok aktif. Ia menyebut pemasaran dan promosi produk rokok sebagai faktor utama.
“Sponsor, iklan, dan contoh di lingkungan sekitar bisa memengaruhi seseorang untuk merokok,” ujar Marshanda. “Informasi dari U-Report akan saya gunakan untuk menyuarakan antitembakau dan menghindari apa pun yang berkaitan dengan merokok.”
Per 30 Mei, lebih dari 42.000 U-Reporter telah mengakses chatbot melalui WhatsApp. Chatbot U-Report sendiri akan diresmikan oleh kampanye lokal “Commit to Quit” pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh tanggal 31 Mei.
RPY, yang sudah berhenti merokok dan melaporkan ia merasa lebih sehat, mengajak anak-anak Indonesia untuk bergabung dengan kampanye ini. Ia juga mengimbau anak lain untuk tidak merokok karena dapat menimbulkan kecanduan dan masalah kesehatan lain.
“Remaja secara khusus rentan terhadap pengaruh teman dan lingkungan yang membuat mereka tergoda untuk merokok,” ujar UNICEF Representative Debora Comini. “Dengan membicarakan isu ini menggunakan cara yang ramah untuk remaja, kita bisa membuat mereka mampu untuk tidak merokok dan mempromosikan upaya mengakhiri epidemi tembakau di Indonesia.”
*Nama RPY dijadikan inisial untuk melindungi privasinya.