Opinions Cerita Tentang Kami Engagement Reports Join Now
Join U-Report, Your voice matters.
CERITA
Kembali ke sekolah, di mana pun murid berada

Caption (di atas): Yenni Karubaba, 21, di Jayapura, sedang mendengarkan pelajaran yang disiarkan melalui radio.

Wajah kegiatan belajar mengajar di Indonesia berubah secara drastis sejak sekolah-sekolah ditutup pada bulan Maret untuk mencegah penularan COVID-19. Perubahan ini berdampak terhadap lebih dari 60 juta murid, guru, dan keluarga. UNICEF berkomitmen untuk memastikan semua anak di Indonesia, di mana pun mereka berada, dapat terus belajar. Melalui kerja sama dengan pemerintah dan para mitra, UNICEF hendak meminimalkan hambatan pendidikan.

Seiring dengan dimulainya tahun ajaran baru 2020-201 pada tanggal 13 Juli, murid-murid di seluruh Indonesia pun melanjutkan pembelajaran mereka. Foto-foto yang diambil UNICEF selama enam bulan terakhir mendokumentasikan suasana belajar sejak awal tahun 2020 dan cara para murid menghadapi tantangan, yang belum pernah terjadi sebelumnya, akibat pandemi.

Belajar di sekolah sebelum pandemi terjadi di Papua

Dedi Kilmi, 11, berjalan kaki pulang dari sekolah dasar di kota Sorong, Papua Barat.

Setiap beberapa hari sekali, Demi Kilmi yang berusia 11 tahun harus berjalan sejauh hingga empat kilometer menuju sekolahnya, sebuah sekolah dasar di Papua Barat. Meskipun tidak mengenakan sepatu ataupun membawa tas ransel, Dedi tetap menempuh perjalanannya dengan riang.

Di kota Sorong, angka literasi adalah lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Untuk mengatasi hal ini, UNICEF meluncurkan program literasi kelas rendah untuk meningkatkan keterampilan dan kreativitas guru serta membantu sekolah menyediakan lingkungan belajar yang lebih baik. Misalnya, dengan mendirikan sudut membaca yang diisi buku-buku edukatif untuk dinikmati murid.

Sejak program tersebut dilaksanakan di sekolahnya pada tahun lalu, Dedi mulai lebih sering menulis dan senang membuat cerita tentang keluarganya yang pergi ke kebun untuk memetik sayur mayur. Dedi juga memiliki cita-cita yang tinggi: “Saya ingin jadi pilot. Saya ingin terbang,” katanya sambil menatap ke arah langit.

Maria Air, 14, dan dua temannya, Martha Seseo (kiri), 13, dan Rofina (tengah), 14, berjalan di dekat aula belajar asrama putri, kota Sorong, Papua Barat.

Maria, 14, adalah sosok pemimpin di kalangan teman-temannya. Ia yang memimpin kelas saat pelajaran pendidikan jasmani dan, saat istirahat, menjadi pusat percakapan. Namun, di kelas, ia pendiam dan jarang mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan. Menurut para guru di SMP tempatnya bersekolah, Maria—seperti banyak murid lain di Papua—pemalu dan enggan berbicara di hadapan orang selain teman.

Sesungguhnya, Maria amat kaya ide. Ia tak pernah kehabisan gagasan mengenai cara meningkatkan mutu lingkungan sekolah bagi murid dan bersemangat ikut serta membuat komunitasnya menjadi lebih baik. Melalui program “Supporting Girls to Thrive” yang diluncurkan UNICEF pada bulan November 2019, murid seperti Maria akan memiliki peluang lebih besar agar mereka dapat berpartisipasi dengan bermakna di sekolah dan lingkungan masyarakat.

Flora Dita Cahyani, murid SMP 9 Sorong, sedang belajar di rumahnya di Sorong, Papua Barat.

Dita, 14, merupakan murid yang penuh semangat dan menggemari pelajaran matematika serta sains. Ia juga anggota organisasi siswa intra sekolah (OSIS) di SMP tempatnya menuntut ilmu. Akan tetapi, setiap tahun, saat musim hujan, rumahnya terkena banjir sehingga ia sulit berkonsentrasi pada pelajaran. Banjir itu sendiri disebabkan oleh sampah yang dibuang ke saluran air di dekat jalan rumah Dita oleh pengunjung pasar. Ketika hujan turun, saluran air tersumbat dan air pun meluap menggenangi lingkungan yang dihuni Dita.

Di provinsi-provinsi lain Indonesia, pemerintah daerah sudah membentuk forum dan platform aspirasi bagi remaja dan anak muda. Namun, di Sorong, forum semacam itu belum ada. Akibatnya, Dita belum pernah terpikir untuk menyuarakan idenya kepada pemerintah agar permasalahan banjir bisa diatasi.

Program “Supporting Girls to Thrive” akan memberikan Dita kesempatan bertukar informasi dengan sesama anak muda di seluruh Indonesia, berdialog dengan pembuat kebijakan, dan menciptakan perubahan sosial yang positif di masyarakat.

Belajar di rumah setelah terjadi pandemi

Kesya (tengah), 14, dan teman-teman sekelasnya mengerjakan tugas di rumahnya di Sorong.

“Saya lebih suka belajar di sekolah daripada di rumah,” kata Kesya, 14 tahun, sambil tertawa pelan. “Belajar di rumah lebih sulit karena ada dua adik yang selalu mengajak bermain dan mereka selalu membuat ruangan menjadi berantakan.”

Di antara teman-teman sekelas, Kesya biasanya pemalu. Namun, selama pembelajaran di rumah, ia menjadi lebih supel dan aktif. Perubahan ini, menurut Ibu Marni, guru Kesya, adalah berkat program pendidikan kecakapan hidup yang didukung oleh UNICEF dan bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif.

Program tersebut juga membantu Ibu Marni dalam merancang kegiatan yang mengasah kemampuan berpikir analitis para murid. Contoh kegiatan ini adalah latihan pemetaan pikiran bertopik COVID-19 yang meminta murid menyebutkan gejala penyakit dan cara-cara mencegah penularan.

Melan, 14, sedang menggambar komik di rumahnya di Sorong

Melan, 14, telah melakukan pembelajaran dari rumahnya di Sorong sejak bulan Maret. Beberapa pekan lalu, ia menerima rapor dan pernyataan naik ke kelas 8. Sejauh ini, Melan mampu mengikuti pelajaran, walaupun ia mengakui prosesnya tidak mudah.

“Virus ini membuat saya cemas,” kata Melan. “Saya juga sedih karena banyak tempat ditutup. Saya anak tunggal, jadi saya rindu pada teman dan guru, khususnya guru bimbingan konseling.”

Saat menghadiri diskusi kelompok mengenai kesehatan jiwa yang dipimpin dan difasilitasi oleh UNICEF, Melan belajar cara mengatasi kekhawatirannya. Ia juga belajar membuat materi informasi seperti komik, poster, dan video; materi-materi ini bisa ia gunakan untuk menyuarakan aspirasi dan berbagi informasi.

Feli, 5 (kiri), dan Kimy, 6, di Jakarta, belajar di rumah bersama ayah mereka.

Di Jakarta, Feli dan Kimy telah belajar dari rumah sejak sekolah mereka ditutup. Guru-guru mereka mengirimkan tugas-tugas untuk dikerjakan setiap hari.

“Saya suka belajar di rumah, terutama belajar huruf-huruf Arab dengan ayah dan adik,” kata Kimy. Ia menambahkan bahwa meskipun ia rindu teman-temannya, belajar dari rumah memberikannya waktu lebih banyak bersama kedua orang tua dan adiknya.

Anak-anak, khususnya dari kelompok yang paling rentan, merupakan korban pandemi COVID-19 yang merasakan dampak terberat. Sebagai bagian dari respons darurat terhadap pandemi ini di Indonesia, UNICEF bekerja sama dengan pemerintah untuk memberikan dukungan dan panduan pembelajaran jarak jauh serta perlindungan anak selama sekolah ditutup.


Murid-murid belajar di sebuah rumah yatim piatu tempat mereka tinggal di Jakarta.

Ais, 7, sedang mencuci tangan di rumah yatim piatu yang ia huni di Jakarta.

Ais, 7, telah menjadi penghuni sebuah rumah yatim piatu di Jakarta sejak tahun 2016. Ia bersekolah di sekolah dasar di dekat rumah itu. Saat pandemi COVID-19 terjadi, rumah tempatnya tinggal menerapkan peraturan baru: anak-anak harus tetap tinggal dan belajar dari rumah itu.

Ais belajar cara mencuci tangan dengan benar dibantu oleh lagu yang diajarkan sekolah. Agar kebutuhan dasar anak-anak seperti Ais dapat terus terpenuhi, UNICEF membantu memberikan perlengkapan sanitasi dan kebersihan diri kepada lebih dari 1,700 lembaga pengasuhan anak di seluruh Indonesia.

Evan, 10, sedang mengganti ban sepeda di luar rumahnya di desa Jimbaran, Jawa Tengah.

Evan, 10, didiagnosis hiperaktif dan saat ini belum dapat membaca ataupun menulis. Ia duduk di kelas dua sebuah sekolah dasar Islam yang berjarak dua jam dari rumahnya dan menghuni asrama sekolah. Menurut Evan, ia dapat belajar dengan lebih baik di tengah teman-teman dan bersama guru yang menjaga serta mendukung Evan.

Akan tetapi, sejak pandemi COVID-19 terjadi, sekolah Evan ditutup dan ia pun dipulangkan kepada keluarganya. Sebagian besar pembelajaran berlangsung secara daring, tetapi hal ini menantang bagi Evan karena ia tidak bisa membaca dan sulit duduk tenang selama periode yang panjang. Orang tuanya pun buta huruf. Menyesuaikan diri dengan pembelajaran jarak jauh dapat terasa lebih sulit bagi anak-anak dengan disabilitas; banyak dari mereka yang membutuhkan dukungan tambahan dari sekolah. Dengan demikian, pengajaran jarak jauh harus pula diadaptasi agar kebutuhan anak-anak dengan disabilitas terpenuhi, yaitu dengan menyediakan beragam sarana pendukung, termasuk materi membaca dan belajar yang inklusif.

Untuk mendukung pendidikan anak-anak dengan disabilitas pada masa pandemi, UNICEF dan para mitranya melakukan penilaian terhadap kebutuhan baru, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran dan kesehatan jiwa, dan mengembangkan materi belajar baik yang berformat digital maupun cetak yang mudah diakses dan ramah murid dengan disabilitas.

Dimas, 14, berolah raga pagi di rumahnya di Jayapura.

Setelah jadwal belajar di sekolah terhenti, menciptakan rutinitas baru di rumah amatlah penting. Dimas dan teman-temannya diwajibkan sekolah untuk berolah raga di rumah setiap pagi sebelum memulai kegiatan belajar secara daring. Tujuannya adalah agar murid tetap segar dan mampu berkonsentrasi selama pembelajaran. Tanpa pelajaran olah raga yang biasanya diberikan di sekolah, aktif bergerak dan berolah raga di rumah sangat penting untuk meminimalkan risiko kenaikan berat badan serta obesitas.


Moreyna, 6, mengikuti program pendidikan di televisi dari rumahnya di Jayapura, Indonesia.

Sekitar satu dari tiga rumah tangga di Indonesia tidak memiliki akses internet. Agar para murid bisa tetap belajar secara luring dari rumah masing-masing, Pemerintah Indonesia menyiarkan program Belajar dari Rumah melalui jaringan televisi nasional TVRI. Program ini, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, ditayangkan dari hari Senin hingga Jumat untuk anak-anak usia sekolah, mulai dari jenjang prasekolah hingga SMA, dengan cakupan mata pelajaran yang amat luas.

Untuk menilai keefektifan program, UNICEF mendukung otoritas bidang pendidikan melakukan survei secara teratur terhadap guru, orang tua, dan murid. Survei ini dirancang berbasis SMS agar bisa menjangkau responden yang tidak memiliki akses internet. Survei menghimpun masukan tentang kegiatan belajar di rumah untuk memastikan setiap murid menerima dukungan yang diperlukan.

Kenzie, 10, belajar di rumahnya di Jayapura bersama sang kakek.


Chalista, 7, di Jayapura, belajar bersama adik lelakinya, Yance, 5.


Edita Sefa membantu putrinya, Tesa, 4, dengan tugas-tugas sekolah di rumah mereka di Jayapura.

Sejak sekolah-sekolah di Papua ditutup pada bulan Maret, peran keluarga dalam pembelajaran anak pun meningkat. Namun, bagi banyak murid dan orang tua mereka, pembelajaran jarak jauh adalah hal baru. Sekolah bisa membantu mendukung para keluarga menyediakan lingkungan belajar yang aman di rumah dan guru dapat tetap aktif berkomunikasi dengan orang tua dan para murid untuk menjawab pertanyaan dan memberikan bimbingan.



Sekelompok murid SDN 01 Naioni berkumpul untuk mengikuti kelas di luar sebuah rumah di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Proses belajar mengajar untuk jenjang SD sudah kembali dilanjutkan di Kupang, walau dengan banyak perbedaan. Proses belajar secara tatap muka di kelas masih dilarang, tetapi murid dalam kelompok-kelompok kecil, maksimal lima orang, boleh bertemu di luar rumah—yaitu di suatu tempat di sekitar lingkungan mereka. Seorang guru akan menemui mereka di sana. Para murid, yang bertemu tiga kali dalam seminggu, duduk di tanah sambil mengikuti pelajaran sesuai dengan tingkat kelasnya—membaca, menulis, atau mengerjakan tugas matematika.

Kebijakan baru untuk belajar dari rumah ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah di Kupang. Tujuannya adalah mendukung anak-anak dari keluarga petani kurang mampu yang tidak dapat menyediakan perangkat seluler atau kuota internet penunjang pembelajaran daring.



See by the numbers how we are engaging youth voices for positive social change.
EXPLORE ENGAGEMENT
UNICEF logo